Sunday, January 24, 2016

Perjalanan, Menjauh untuk Mendekat

Far away
This ship has taken me far away
Far away from the memories
Of the people who care if I live or die

Diatas adalah potongan lirik lagu Starlight dari Muse, lagu yang easy listening. Mengingat beberapa perjalanan yang pernah saya lakukan, mengingatkan saya juga dengan lagu ini. Perjalanan selalu memakan jarak dan waktu, dan pada hakikatnya kita tidak pernah kembali. Kita mungkin bisa mengatakan kita kembali ke kampung halaman, namun kita tidak pernah kembali ke kampung yang sama, karena pasti akan ada perubahan. Setiap kali kita meninggalkan sesuatu, pasti akan ada rasa kehilangan. Kadang rasa kehilangan itu terasa sangat menyakitkan, namun terkadang, rasa kehilangan itu membuat kita bersyukur.

Kemarin saya masih berada di Pontianak, siang sekitar pukul 13.00 berangkat menuju Putussibay, Bumi Uncak Kapuas. Satu dari tiga ujung Kalimantan Barat yang ingin saya kunjungi sejak masih mahasiswa, dua yang lainnya adalah Paloh di Sambas, dan Ketapang.

Perjalanan dari Pontianak ke Putussibau adalah perjalanan paling lama yang bisa saya ingat yang pernah saya jalani. Berangkat pukul 13.30, sampai di Putussibau pukul 03.30, sekitar 14 jam. Beberapa menit meninggalkan Sintang setelah sempat makan malam, saya sempat jackpot, namun sebenarnya jackpot itu lebih disebabkan lendir di tenggorokan yang seperti menyumbat pangkal mulut dan merangsang isi perut untuk keluar. Selain itu, saya punya  masalah dengan teh hangat jika sedang dalam perjalanan. Kenapa masih minum teh hangat kalau bermasalah dengannya? Karena rasanya teh hangat yang aman saya minum kalau sedang dalam perjalanan. Semalam, sebenarnya saya sudah tidak sanggup untuk menghabiskan teh hangat dalam gelas, tapi ada rasa bersalah kalau menyisakan makanan atau minuman yang akan dibuang. Karena itu saya habiskan tehnya, tapi ternyata, keluar juga mereka.

Ada pemandangan yang menurut saya menarik semalam, saya melihat beberapa rumah makan Minang yang tutup, Berdasarkan analisa singkat saya di dalam otak, sepertinya kebanyakan para supir bus di kalbar adalah orang Jawa. Entah karena solidaritas atau hanya faktor selera, para supir tersebut lebih memilih membawa penumpangnya ke rumah makan masakan Jawa. Karena itu, berkuranglah pelanggan bagi rumah makan minang di sepanjang jalur hulu hingga hilir Kapuas.

 Demikian.

0 comments:

Post a Comment